Laman

Camilan Ala Wurni


                      Di rumah ada singkong. Tadinya mau dibuat kolak saja. Tapi dipikir dan dirasa kok kolak terus, ya? Hmm, bosan deh. Tambah lagi si buyung kan seleranya moody. Hari ini doyan kolak, besoknya langsung lari pas disodorin kolak. Di dapur tidak sengaja menemukan wortel dan telur. Lantas otak kokiku langsung nge-link, aha gimana kalau singkongnya dimodifikasi saja. Dibuat comro tapi dengan isi yang berbeda. Suamiku usul bagaimana kalau isinya diganti dengan tempe. Ih, tempe sama oncom kan masih saudara jauh. Hehe...
                    Setelah aku putuskan untuk menggunakan wortel sebagai isiannya, suamiku langsung mengerutkan kening.
                    “Emang bakal enak? Kayaknya enggak cocok deh,” protesnya.
                     Tapi, namanya juga emak-emak. Enggak mau kalah dan ngalah.
                     “Kita lihat saja nanti,” jawabku. Hihi..
                   Akhirnya jadilah camilan itu. Alhamdulillah, suami yang tadinya protes malah habis paling banyak. Yang paling membuat lega adalah si buyung juga suka. Yeay! Misi berhasil...
                   Camilan ini bisa juga dijadikan alternatif makanan buat buyung yang kadang suka emoh makan nasi. Karbohidratnya dapat, protein dan gizi yang lainnya juga Insya Allah ada dalam telur dan wortel. So, kebutuhan karbohidrat Hafidz terpenuhi walaupun tidak makan nasi. Bagi yang pengen tahu resepnya, boleh banget dicoba di rumah...

Singkong Isi Wortel

Bahan:
½ kg singkong, diparut
Wortel dipotong dadu kecil
1 butir telur ayam
1 siung bawang putih, cincang halus
Minyak goreng secukupnya
singkong isi wortel
2 sdm margarin
Garam secukupnya
Penyedap rasa secukupnya
Cara membuat:
1.    Tumis bawang putih dengan menggunakan margarin. Setelah harum, masukkan telur. Orak-arik telur sampai agak kering. Kemudian masukkan wortel yang telah dipotong dadu, garam, dan penyedap rasa. Tumis sampai wortel agak layu. Angkat dan sisihkan.
2.    Campurkan parutan singkong dengan margarin, garam, dan penyedap rasa. Kemudian buat bulatan dan isi tengahnya dengan tumisan wortel. Lakukan sampai singkong habis.

3.    Goreng dalam minyak panas dan api sedang. Jika sudah kuning keemasan, angkat singkong. Siap dinikmati.

Coffee Break with Hafidz Part 2: Water Dance

“Hafidz, nggak main air ya, Sayang,” pintaku ketika melihat Hafidz sudah mulai mengambil gelas. Naluri servant-ku mencium gelagat yang tidak enak. Akan kembali terjadi banjir di tengah rumah. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah sang jagoan kecilku, Hafidz.
Kadang aku tak habis pikir, apa sih yang membuat Hafidz begitu menyukai air. Selalu saja muncul ide briliannya agar bisa menyentuh air. Walau aku sudah sekuat tenaga untuk mencegahnya bermain air. Tapi usahaku selalu berujung kegagalan.
Pernah suatu hari ketika umurnya belum genap 1 tahun. Aku sedang sholat isya dan aku membiarkan Hafidz bermain di luar kamar. Biasanya aku selalu membawanya ke kamar dan menutup pintu kamar sehingga aku merasa aman. Tapi malam itu aku kasihan pada Hafidz yang terlihat bosan bermain di kamar terus.
Maka aku izinkan dia main di tengah rumah setelah yakin kondisi tengah rumah kondusif untuk digunakan tempat bermain Hafidz meski tanpa pengawasanku. Pintu kamar mandi sudah aku kunci dari luar. Aman. Dia tidak akan bisa masuk ke kamar mandi.
Tengah khusyuk sholat, telingaku mendengar bunyi yang tak asing. Ya, bunyi gelembung air minum dalam galon. Jangan-jangan Hafidz... Ah, kekhusyukan sholatku telah ternoda oleh bunyi gelembung air ya, Rabb. Aku segera menyelesaikan sholatku karena perasaanku tidak enak. Pasti ada sesuatu yang terjadi.
Bergegas aku keluar kamar dan mendapati Hafidz sedang asyik berkubang di dekat dispenser. Pakaiannya sudah basah kuyup. Pinggulnya meliuk ke kanan dan ke kiri. Air di dalam galon yang tadinya penuh kini tinggal setengahnya. Kran dispenser terbuka dan mengeluarkan air yang membentuk danau kecil. Seketika mataku gelap. Aku berdiri kaku.
Hafidz yang menyadari kehadiranku, menoleh dan tertawa bahagia. Matanya bercahaya. Senyumnya begitu lepas. Amarahku yang sudah di ubun-ubun, mendadak lenyap, berganti dengan kegelian. Namun tak urung mulutku tetap mengeluarkan omelan-omelan pelan.
Nah, aku tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Maka aku terus-menerus mengingatkan Hafidz agar membatasi main air. Main air boleh tapi ada saatnya dan ada batasan waktunya. Tapi namanya juga anak-anak. Tidak cukup sekali dua kali mengingatkannya. Tidak hanya cukup dengan ucapan tapi juga harus diiringi dengan tindakan. Biasanya jika Hafidz sudah aku anggap cukup bermain air, maka aku akan langsung memintanya berhenti dan mengganti pakaiannya. Tak lupa juga mengelap air bekas mainnya.
Nah, pagi itu Hafidz sudah siap dengan gelasnya. Dia sodorkan gelas sambil menunjuk dispenser. Hmm, itu artinya dia minta diambilkan air minum. Aku sengaja memberinya air minum sedikit. Dengan harapan air itu akan habis sekali teguk. Tapi, lagi-lagi Hafidz selangkah lebih maju dariku. Dengan cepat diteguknya air itu sedikit sekali. Kemudian dia mengambil gelas baru dan memindahkan sisa air minumnya ke gelas yang baru diambilnya.
Hafidz lakukan itu berkali-kali sampai dia sadar air di gelasnya habis dan berpindah ke lantai. Aku pura-pura tidak tahu ketika dia mendekatiku.
“Tak ada,” seru Hafidz sembari menunjuk ke gelasnya.
“Airnya sudah habis ya, Hafidz,” tanyaku.
“Ho-oh,” jawabnya sambil mengangguk.
“Tuh lihat, airnya sudah pindah ke lantai semua. Bagaimana, dong?”
Setelah mendengar itu, Hafidz berlalu tanpa banyak protes. Tumben, pikirku. Biasanya dia akan gigih memperjuangkan keinginannya dengan 1001 cara.
Aku kembali sibuk dengan pekerjaan pagiku. Tapi, ekor mataku menangkap pemandangan baru! Ya, aku melihat Hafidz menyeret kain lap yang biasa aku gunakan untuk mengelap lantai. Hmm, kejeniusan apa lagi yang akan Hafidz perlihatkan ya.
Hafidz kemudian menjatuhkan lap itu ke lantai yang basah oleh air yang dia tumpahkan. Kemudian dia mulai mengelapnya. Aih, jadi terharu dibuatnya. Aku mendapat pelajaran berharga dari seorang anak yang berusia kurang dari 2 tahun. Pelajaran tanggung jawab. Sebuah sikap yang akhir-akhir ini mulai diabaikan oleh orang-orang yang mengaku dirinya dewasa.
Ah, Hafidz, lagi-lagi Bunda kalah darimu, Nak. Ya, kalah. Karena sejak momen pagi itu, setiap engkau menumpahkan apapun ke lantai, engkau akan segera membersihkannya. Love you much, Hafidz.


Coffe Break with Hafidz Part 1: "Mama, ni..."

Pagi yang berwarna. Seluruh penghuni rumah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Aku sibuk bergelut dengan bumbu dan bahan masakan di dapur. Suamiku sibuk dengan tugas kantornya. Sedang Hafidz, jagoan kecilku yang baru berusia 20 bulan, asyik membongkar pasang balok susun di teras rumah ditemani anak tetangga sebelah rumah.
Tiba-tiba Hafidz dengan roman muka yang serius, tergesa masuk ke rumah dan langsung menuju kamar tidur. Ehm, ada apa, ya. Tidak biasanya dia seperti itu. Sesaat terbesit untuk mengikutinya ke kamar. Tapi niat itu aku urungkan demi melihatnya keluar dari kamar tidur. Aku terperangah. Ooo, apa yang dibawanya?
Hafidz tampak repot menyeret kain sinjang (kain batik yang biasa dikenakan ibu-ibu di pedesaan). Langkahnya pasti menuju teras.
“Loh, kainnya buat apa, Hafidz?” sapa suamiku.
Tapi hanya dijawab oleh angin yang menyelinap melalui pintu depan.
“Sttt, biarkan saja, Yah. Bunda ingin tahu apa yang akan dilakukan Hafidz dengan kain itu,” bisikku pada suamiku yang akan mencegah Hafidz.
Sejujurnya aku juga sudah ingin mencegah Hafidz membawa keluar kain itu. Karena yang terbayang olehku pasti kain itu akan dipakai untuk main dan pasti akan kotor, kan. Itu sama saja dengan bertambah lagi satu kain yang antri untuk dicuci. Oh, pekerjaanku sepertinya belum akan selesai dalam waktu dekat.
Tapi aku berusaha menahan diri. Biasanya Hafidz selalu memberikan kejutan-kejutan. Aku mendekat dan berdiri di pintu depan karena penasaran. Hmm, kira-kira kejutan apa lagi yang akan dipersembahkan oleh jagoanku.
Benar saja, setelah sampai di teras, Hafidz memunguti balok susun yang terjatuh di tanah depan teras. Dan apa yang dilakukannya? Dia mengelap balok-balok itu dengan menggunakan kain yang baru saja diambilnya dari kamar. Aku dan suamiku saling pandang dan disusul oleh tawa kami berdua.
“Hafidz, kenapa baloknya, Sayang?” tanyaku sembari menghampirinya.
“Mama, ni...,” jawabnya seraya menunjukkan balok yang kotor dan basah. Kata bunda memang masih sulit diucapkan bagi Hafidz, jadilah dia mengganti bunda dengan mama. But, it’s ok myboy.
Memang tadi malam hujan dan menyisakan tanah yang basah.
“Oh, Hafidz mau membersihkan balok-balok ini, ya.”
“He-eh,” jawabnya.
“Pintarnya anak Bunda, tapi mengelap baloknya bukan dengan kain ini, Sayang. Kain ini digunakan untuk selimut. Kalau Hafidz mau mengelap balok, pakai kain lap ini,” ujarku sembari menyodorkan kain lap padanya.
“Ooo,” mulutnya manyun tapi menerima kain lap yang aku sodorkan dan meneruskan kegiatannya mengelap balok susunnya.
Ah, tak terbayang jika saja aku menuruti nafsuku untuk mencegah Hafidz mengambil kain dari kamar. Tentu yang terjadi saat ini adalah tangis pilunya yang memecah rumah. Pasti tak akan terlihat kecerdasannya. Terima kasih, Allah, sudah menambah kuota sabarku. Terima kasih, Allah, telah menganugerahkan laki-laki lucu nan pandai di tengah-tengah keluarga kecil kami.


Ayah yang Mulia

Nabi Muhammad SAW menunduk. Matanya berkaca-kaca. Seorang sahabat memperlihatkan tebusan untuk Abu Al Ash ibnu Ar-Rabi. Tebusan itu berupa uang dan kalung yang tidak asing bagi Rasulullah. Kalung itu adalah hadiah dari istri tercintanya, Khadijah Ra untuk putri sulungnya, Zainab binti Muhammad, pada hari pernikahannya.
Dan kini kalung itu digunakan sebagai tebusan suami Zainab binti Muhammad. Mengapa Zainab harus mengirimkan uang dan kalung sebagai tebusan kepada ayahnya?
Saat itu perang Badar telah usai dengan kemenangan berada di pihak kaum Muslimin. Kaum musyrikin Quraisy yang menyerah kemudian menjadi tawanan. Jika mereka berasal dari keluarga kaya, maka keluarganya boleh menebus dengan harga mahal. Abu Al Ash ibnu Ar-Rabi, suami Zainab binti Muhammad, ikut tertawan karena membela pihak musyrikin dalam perang Badar itu.
***
“Zainab, aku percaya pada ayahmu dan pada apa yang dibawanya (Islam). Tapi aku tidak bisa masuk Islam karena khawatir jika kaum Quraisy menyangka aku masuk agama Islam hanya untuk menyenangkan istriku.”
Demikian alasan Abu Al Ash ibnu Ra-Rabi ketika Zainab mengajak suaminya beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad.
Walaupun Zainab binti Muhammad sedih mendengar jawaban suaminya, namun dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. Sebagai istri yang baik, dia hanya mampu mendoakan agar suaminya kelak diberi hidayah oleh Allah SWT. Zainab binti Muhammad tidak ikut hijrah ketika seluruh keluarganya pindah ke Madinah. Zainab merasa seorang diri di tengah keluarga suaminya.
Dan ketika berkecamuk perang Badar, Zainab binti Muhammad mendengar kabar bahwa suaminya menjadi tawanan tentara kaum Muslim. Dengan cepat Zainab mengirim sejumlah uang dan kalung pemberian ibunya untuk membebaskan suaminya.
Dan kini benda itu berada dalam genggaman Rasulullah SAW. Dengan lirih Rasulullah berkata kepada para sahabatnya, “jika kalian mengijinkan, aku ingin membebaskan tawanan Zainab binti Muhammad tanpa mengambil tebusannya. Kalian juga dapat melakukan hal yang sama.”
“Tentu wahai, Rasulullah. Kami tidak keberatan,” jawab para Sahabat.
Rasulullah kemudian membebaskan Abu Al Ash ibnu Ar-Rabi dengan satu syarat. Rasulullah meminta agar Abu Al Ash ibnu Ar- Rabi mau menceraikan Zainab binti Muhammad dan membiarkannya pergi ke Madinah dengan selamat. Abu Al Ash ibnu Ar-Rabi menyanggupinya.
Begitu Abu Al Ash ibnu Ar-Rabi sampai di Mekkah, Zainab menyambutnya dengan sukacita. Namun Abu Al Ash ibnu Ar-Rabi berkata, “Zainab, kau bukan untukku. Ayahmu, Muhammad, telah memintaku untuk melepaskanmu. Karena Islam melarang kita untuk bersama jika keyakinan kita berbeda. Aku menyanggupi permintaan ayahmu. Dan aku bukanlah orang yang ingkar janji.”
Zainab sedih mendengar hal itu. Namun dia sadar apa yang diputuskan oleh ayahnya, Rasulullah SAW, bukan karena semata-mata membenci Abu Al Ash ibnu Ar-Rabi. Rasulullah memutuskan itu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Juga didorong oleh kasih sayang seorang ayah kepada putrinya.

Maka dengan tidak menunggu waktu lama, Zainab binti Muhammad bersiap menuju Madinah. Kota di mana orang-orang yang manyayanginya berada. Sesampai di Madinah, Zainab disambut dengan penuh sukacita oleh Rasulullah dan seluruh keluarganya. Saking bahagianya, Rasulullah sampai menitikkan airmata.